Beranda ACEH TENGAH

Mutiara Hitam Gayo Terhempas Badai

BERBAGI

KEBERADAANNYA begitu tenar. Seantero penjuru dunia pernah terhipnotis oleh kemilaunya. Namun kini ia terhempas dalam terjangan badai pandemi. Sumber utama komoditi unggulan rakyat di Gayo ini kian tak menentu.

Sejak pandemi Covid19 menghentak diakhir tahun lalu,  pasar ekonomi dunia begitu lesu. Hal itu juga  berdampak langsung terhadap komoditi unggulan rakyat di wilayah tengah Aceh yakni kopi arabika asal Gayo.

Bila tahun-tahun sebelumnya harga nilai kopi Gayo begitu gemilang, pernah mencapai Rp85.000 per kilogram dalam bentuk green beans. Tapi ketika pandemi melanda, angka jualnya merosot hingga 50 persen, atau setara Rp45.000/kg.

Harga terjun drastis tersebut, menyebabkan 80 persen warga yang menggantungkan hidup sebagai petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah terpaksa mengurut dada. Betapa tidak! Rendahnya harga dan turunnya minat konsumen sudah tidak sebanding lagi dengan besarnya biaya kebutuhan hidup maupun proses perawatan batang.

Untuk 1 hektare kopi rata-rata petani di sana hanya mampu menghasilkan produksi 720 kilo greenbeans (biji hijau) per tahun, pola konvensional. Artinya, jika harga kopi Rp45.000/kg x 720 maka income yang diperoleh petani hanya Rp32.400.000 dalam setahun.

Besarkah angka itu? Jika dirunut secara detail, hasil rata-rata petani kopi gayo tidaklah terlalu besar per tahunnya. Hal itu lantaran tingginya cost yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan perawatan kebun seperti; pemangkasan daun Rp.7,5 juta perhentare, ongkos petik, Rp25.000/kaleng (12 kg).

Selanjutnya; pembersihan gulma Rp4 juta selama setahun, biaya pupuk 2 x dalam setahun sekitar Rp6 juta/hektar. Kemudian ditambah besarnya biaya pokok kebutuhan hidup minimal Rp100.000 per hari.

Persoalan harga kopi yang tak menentu akibat dampak Covid19 ini ditanggapi sejumlah nara sumber yang berhasil dihimpun media ini keterangannya secara terpisah.

Berdasarkan perkiraan  Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, ada 16.500 ton kopi yang menumpuk di tangan masyarakat. Belum dipasarkan. Jumlah itu akan semakin menumpuk di tahun ini, apalagi di negeri dingin itu saat ini (Oktober) sedang memasuki musim panen raya.

Akan kemana dipasarkan biji berkaffein tersebut? Sementara buyer dari sejumlah negara kini menahan pembelian kopi Gayo. Argument mereka persoalan wabah jadi kendala dan adanya kopi yang mengandung glyposhat (tercemar festisida).

Apa upaya yang harus dilakukan, agar kopi berkualitas dari Gayo dapat dipasarkan, sehingga petani di tanah “Malem Dewa” ini kembali bangkit. Bagaimana andil pemerintah? Sebelumnya Presiden Jokowi sudah menjanjikan menyiapkan dana Rp 1 triliun guna membantu menormalkan roda pemasaran kopi.

Plt Gubernur Aceh sudah melobi dan menyurati Presiden Jokowi. Mereka bertemu dan membahas soal kondisi pasaran kopi Gayo. Menurut Nova, presiden  sudah menjanjikan akan membeli kopi dari dataran tinggi ini dengan menyiapkan dana Rp 1 triliun.

Plt Gubernur Aceh ini berharap janji presiden dapat terealisasi. Bila terwujud tentu bisa membantu petani kopi yang kini terjepit secara ekonomi dampak anjloknya nilai jual.

Menurut M Tanwier, Kadis Perindag Aceh, Pemerintah Aceh yang sudah menyurati Presiden dan sudah bertemu membahas untuk mengatasi persoalan kopi. Dari beberapa pertemuan itu sedang diupayakan solusi penjualan kopi Gayo untuk dimanfaatkan di dalam negeri.

“Kami dari Indag (Industri dan perdagangan) sudah dua kali zoom dengan kementrian perindustrian dan perdagangan, menindak lanjuti surat Presiden. Kami juga sudah menjajaki dengan negara Australi, agar kopi kita bisa dipasarkan di sana,” sebut Baong demikian ia akrab disapa.

Menurutnya, pihak perdagangan Aceh melihat peluang kopi di dalam negeri cukup potensial. Kalau  eskportir kopi, mayoritas bergerak berupa green bean (biji mentah). Namun soal kopi bukan hanya green bean. Masih banyak peluang home industry, bisa dimainkan diroasting coffe.

“Kebutuhan pasar dalam negeri untuk kopi masih besar, kita  juga harus melihat peluang ini, di Aceh saja, masih kekurangan kopi. Jadi tinggal bagaimana kita mensiasati kebutuhan ini. Disaat permintaan pasar luar berkurang, kita mengupayakan peningkatan pasar dalam negeri. Kita tidak jual green ben. Namun harapan kita kopi olahan dapat dipasarkan dalam negeri,” titir Baong.

“Di Banda Aceh saja kadang kala kita kekurangan kopi roasting. Ini peluang yang harus dimanfaatkan. Demikian dengan home industri baru. Tapi kita terkendala dengan Permen kemendagri 90. Tidak ada nomenklatur, yang bisa membantu usaha ini. Tidak bisa diberikan bantuan,” lanjutnya.

Dia berharap adanya regulasi tentang bantuan peralatan roasting coffe. Karena sejumlah home industry sangat membutuhkanya. Namun dengan musibah Covid-19 ini, sudah merupakan dari bencana alam, kiranya pemerintah pusat ada kebijakan dalam persoalan ini.

*Situasi Global Corona dan Asa Pelaku Kopi

Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) provinsi Aceh, Armia, saat dimintai keterangan Persnya, mengakui situasi global dampak corona, membuat pihaknya dalam ketidak berdayaan. Ia berharap situasi pandemi ini cepat berlalu.

Ditambahkan, selama ini pihaknya sudah sering mengikuti pertemuan dengan Pemda, Dinas Pertanian, perdagangan. Pembahasan tentang tawaran Presiden Jokowi dalam menanggulangi sementara soal kopi hingga situasi membaik. Ini perlu dijawab dengan melakukan kegiatan di lapangan.

Presiden telah menjanjikan ada Rp 1 triliun membantu petani kopi. Upaya pemerintah ini kiranya bisa membantu petani. Jangan sampai hasil panen kopi tidak terjual, eksportir kewalahan, karena stok kopi menumpuk di produsen.

“Apakah dengan mempergunakan system resi gudang dan memberikan dana talangan, itu tehnis pihak pemerintah yang mengaturnya untuk membantu sementara keadaan kembali normal, agar kopi bisa kembali dijual,” jelas Armia.

Ia mengakui untuk saat ini kopi dari Aceh tidak bisa masuk pasar Eropa dan Australia,  karena sebelum pandemi juga sudah ada persoalan gliposat. Kopi di petani sudah tercemar gliposat diambang batas, sehingga sulit dipasarkan ke sana.

Persoalan gliposat  sebelumnya menggegerkan petani di Gayo. Berita itu telah menjadi bahan pembahasan. Penggunaan festisida untuk membasmi gulma, sangat berpengaruh pada kualitas kopi. Sejumlah negara konsumen menolak kopi Gayo, karena mengandung gliposat.

*Indikasi Geografis Kopi Gayo

Sementara, Win Ruhdi Bathin, seorang petani kopi arabika Gayo di Aceh Tengah menyebutkan, kondisi rendahnya nilai daya jual akibat dampak covid secara global, hendaknya menjadi perhatian segenap pihak terkait.

“Kendala saat ini siklus perputaran kopi stagnan. Tentunya kalau masih berjalan normal,  baik itu harga barang tinggi maupun rendah, penjualannya  tetap habis. Sedangkan, sekarang meski harga jual rendah, tetap tidak habis terjual. Ini sangat berdampak ke area produsen,” tutur Win Ruhdi.

Belum lagi, lanjutnya, selama ini ada pola pelaku dagang atau tani yang mengalihkan uang hasil panen kopi  untuk membeli kebutuhan barang non primer. Kemudian di saat diperlukan untuk menutupi kebutuhan, dana tersebut sudah jadi sulit diuangkan.

“Meski dalam pandemi, seharusnya para pelaku kopi tidak terlalu terdampak, jika  bisa memanegement kebutuhannya. Artinya apa? Setidaknya dalam keadaan harga kopi turun, mereka mampu menyimpan (stok)  hasil panennya dalam jangka waktu tertentu sampai harga kembali normal,” ucapnya.

Ia berpendapat menghadapi persoalan yang ada saat ini ada dua opsi solusi bisa diterapkan. Opsi jangka pendek, selain resi gudang untuk pedagang, hendaknya ada  resi gudang khusus petani.

“Saat ini petani kopi juga membutuhkan  semacam bank agro atau jasa simpan pinjam, petani bisa menggunakan perputaran uang untuk membantu menghadapi berbagai kendala.”

“Bukankah selama ini setiap kopi yang keluar, ada  pembayaran pajak retribusi sebesar Rp250/kg/green beans.  Kemana aliran dana ini? Ribuan tonase dalam setahun kopi gayo siap ekspor keluar dari daerah ini. Seharus dana tersebut bisa menangani keluhan petani. Tapi saat ini dimana posisi pemerintah?” kata Win Ruhdi.

Seterusnya opsi kedua Untuk jangka panjang, masyarakat  sangat membutuhkan  lembaga yang menjamin simpanan dana. Hal ini guna menghindari keterikatan petani dengan permainan harga yang ditetapkan tengkulak.

“Perlu dikuatkan sistem penangganan kopi, salah satunya melalui Indikasi Giografis (IG). Tujuannya untuk menjaga kualitas maupun kekhasan atau kemurnian kopi Gayo. Lain itu, pelaku usaha yang bergerak di sektor kopi  akan mendapat perlindungan. Memunculkan kompetisi produktif. Ini salah satu solusi untuk memperkuat keberadaan kopi arabika yang  nantinya bisa kita wariskan bagi regenerasi berikutnya,” tukasnya.

Wabah corona yang melanda dunia, bukan hanya menyebabkan petani kopi di Gayo harus berperang dengan Covid-19. Mereka harus menjaga protokol kesehatan dan mengikuti anjuran yang sudah ditetapkan pemerintah.

Namun disisi lain, para petani ini berjuang dengan kehidupan. Harga kopi Gayo benar-benar membuat petani di sana menangis tanpa air mata. Corona sudah membuat mereka porak poranda, karena  harga kopi semakin membuat petani menderita.

Harum dan wanginya aroma kopi Gayo, kini sudah menyesakan dada petani. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terasa sangat sulit. Karena nafas kehidupan mereka adalah  mutiara hitam yang tumbuh dibumi beralam indah ini.  Sampai kapan petani disana diselimuti penderitaan? Dikejar corona dalam bayang-bayang  pahitnya mutiara hitam.[] **Oleh: Irwandi MN

 

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here