

TAKENGON |LeuserAntara.com| Pertemuan masyarakat dari enam kabupaten di Hotel Linge Land, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah hari ini, Sabtu (4/1/2014) tetap menyepakati menolak Qanun Wali Nanggroe (QWN) dan Wali Nanggroe Malik Mahmud yang baru-baru ini dikukuhkan oleh sebagian elit pejabat Aceh di Banda Aceh.
Dalam pertemuan tersebut, Muchlis Gayo SH mengatakan, majelis adat diatur undang undang. Istilah Aceh berbeda dalam UU dengan qanun WN. Etnis Gayo jauh berbeda dengan etnis Aceh.
Sedangkan peribahasa selintang Batak sebujur Aceh, selalu dipakai dalam acara di Linge, hal tersebut mengisaratkan tentang peta wilayah Gayo. Oleh karena itu, kita menolak WN dengan cara membentuk dewan adat, pada masing-masing etnis yang berada di Aceh.
“ QWN ini, dari awal sudah berbentur dengan UU. Ini adalah tipu Aceh, yang mereka pakai. Aceh ini tidak bisa didekatkan dengan cara lainnya, hanya pendekata dengan senjata yang mampu meredamnya,” ujarnya Muchlis Gayo.
Sedangkan Ir. Mursyid anggota DPD-RI yang juga hadir pada acara pertemuan tersebut turut mengatakan, pakaian yang dipakai WN adalah pakaian perempuan dari Gayo.” Pakaian tersebut tidak pernah di pakai pria di Belang Kejeren, ini adalah fakta, bahwa dia (Malik Mahmud-Red) tidak mengerti tentang Gayo. Lembaga DPR Aceh tidak boleh dikuasai oleh satu etnis, golongan dan lainnya ,” sebut Mursid.
Begitu juga dengan Armen Deski mantan Bupati Aceh Tenggara, dia memberikan apresiasi kepada mahasiswa 5 (lima) kabupatan.” Tidak ada lain, selain pemekaran, secara administrasi dah tehnis, Aceh Leuser Antara sudah lengkap untuk mekar. Mengapa mereka takut dengan mekarnya ALA ? ,” tanya Armen.
Ibnu Hajar Luttawar menyatakan, sarak opat sistim pemerintahan gayo sudah berjalan sejak 1.115 masehi, jadi tidak perlu ada adat lain menjajah adat yang telah ada. Agama dah adat tidak boleh lepas dan dipisahka.
Duski SH, salah seorang pengacara senior di Aceh Tengah menyatakan, sistim pemerintahan Aceh dulu adalah sultan. Bukan wali nangroe, sudah jelas dipaksakannya Wali Nanggroe ada di Aceh adalah kepentingan elit-elit di Aceh.
Dalam musyawarah tersebut juga akan dihimpun saran dan masukan untuk disampaikan sebagai bahan referensi pemerintahan pusat di Jakarta, untuk mengklarifikasi qanun Aceh tentang wali nanggroe. Apalagi kegiatan tersebut dipandang penting untuk menyelamatkan eksistensi kebudayaan suku Gayo dan Alas.(El Gayo/Darno/Red)