Beranda ACEH TENGAH

Masih Adakah Salah Bertegah Benar Berpapah?

BERBAGI

TUTUR bijak di Gayo ” Salah bertegah benar berpapah” bermakna yang salah harus dicegah, diluruskan, diperbaiki atau dihentikan dan yang benar harus diikuti ,dijaga, dipertahankan serta didukung bersama.

Ungkapan itu merupakan refleksi amar ma’ruf nahi munkar. Menyeru kepada kebaikan mencegah kemungkaran.

Dalam masyarakat yang cendrung semakin individualis, penerapan nilai ini, terutama dalam mencegah yang salah atau kemungkaran semakin menurun.

Energi beramar ma’ruf nahi mungkar cenderung semakin melemah. Menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran semakin jarang terlihat aksinya dan terdengar gaungnya.

Hanya beberapa dari kalangan ulama, ustadz, cendekia, budayawan seniman , dan aktivis yang masih teguh bersuara, kendatipun tidak jarang mereka pun kaum yang dizalimi dan teraniaya.

Dewasa ini, yang memberi petuah dan nasehat, dibenci. Mereka yang jujur, kritis dan mengingatkan, dimusuhi dan dizalimi.

Rakyat yang gelisah pasrah, tak mampu mengetuk hati yang tertutup dan hanya bisa berdoa.

Anak bangsa terbelah, berita bohong dan kegaduhan terus tercipta. Antar warga dan kelompok saling tuding, caci maki, salah menyalahkan dan lapor melaporkan.

Kondisi gaduh ini bukan dilakukan oleh rakyat biasa, tapi oleh yang menyebut dirinya tokoh, aktivis dan para elit.

Berbagai isu berkembang liar, bahkan isu yang mengkhianati reformasi dibiarkan bergulir dengan dalih kebebasan berekspresi.

Disisi lain kehidupan rakyat kecil semakin melarat. Kebijakan tidak berpihak kepada mereka, tapi lebih melindungi kepentingan sebagian kecil orang yang berbagi dengan pemegang kekuasaan.

Sepertinya tidak ada upaya menghentikan sengkarut yang terjadi. Nyaris tidak tampak upaya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Mungkin karena tangan, pikiran dan hati mereka sibuk bergerak dengan tanpa malu, demi memuaskan birahi, menikmati dan mempertahankan kekuasaan.

Lembaga yang seharusnya bersuara semua bungkam. Satu dua orang yang berteriak, lalu ramai ramai dibungkan oleh penjaga citra.

Beginilah negeri yang sedang belajar berdemokrasi. Para pemimpinnya merupakan hasil dari pesta demokrasi ala import yang dibungkus dengan uang dan janji.

Hasilnya, yang berkuasa hanya dari kalangan mereka yang kaya materi dan nekat mengumbar janji yang tidak berniat dia tepati.

Mereka menjadi penindas, menyuburkan oligarki yang menguras kekayaan ibu pertiwi, tidak peduli pada keluh kesah rakyat dan tidak tampak berminat membesarkan bangsa.

Teriakan nasionalisme mereka sekedar jargon untuk memikat , bukan komitmen teguh mencintai tanah air, nusa dan bangsa.
Teriakan para pecundang yang memoles diri seakan pejuang.

Dalam keadaan seperti ini, sulit ditemukan kebenaran dan keadilan.

Untuk menghadapi kondisi buruk ini maka wajib bagi kita menentukan pilihan atau memposisikan diri. Apakah kita memilih menjadi pejuang kebenaran dan keadilan atau menjadi pecundang kebenaran dan keadilan.

Anak negeri yang baik pasti akan memilih menjadi pejuang, dan sebaliknya bagi yang belum sadar sedang berada di posisi pecundang.

Bila kita netral atau diam, berarti kita berada di pihak penindas kebenaran dan keadilan.

Belajar dari kisah kezaliman raja Namrud membakar hidup hidup Nabi Ibrahim AS.

Dalam kisah tersebut, ada seekor cecak yang meniup niup agar api membesar dan membakar Nabi dan disisi lain ada burung pipit yang berjuang memadamkan api dengan membawa air di paruhnya dan meneteskannya ke kobaran api.

Usaha keduanya tidaklah berpengaruh besar, tapi keduanya telah menegaskan posisinya masing masing sebagai pejuang atau pecundang.

Sekecil apapun peran dan upaya akan dicatat dan dihisab serta mendapat balasan yang setimpal. Itulah sebabnya cecak dianjurkan untuk dibunuh.

Kalau saja orang yang berprilaku seperti cecak pada cerita di atas, halal untuk dibunuh, maka banyak sekali mayat yang bergelimpangan.

Ada ungkapan Inggris mengatakan “enough for evil to thrive when the good people do nothing” = “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa”.

Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” – HR. Muslim.

Malulah jadi pecundang .
Semoga masih ada harapan masa depan Indonesia berjaya.

Teluk Pukes, 30 10 2022.

***Catatan Karimansyah. Penulis: Pensiunan PNS di Kabupaten Aceh Tengah. Pernah menjabat sebagai Sekda selama 2 priode dan pernah mengemban jabatan penting lainnya di daerah penghasil kopi Arabika Gayo ini.(sumber Facebook)

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here