Beranda BERITA

Cerpen: “Geruh”

BERBAGI

Ia membongkar kuburan ayahnya, ingin dipindahkan ke pemakaman keluarga. Kemudian meletakkan jenazah ke dalam mobil yang terparkir tidak terlalu jauh dari posisi bekas gundukan tanah yang baru saja digali, suara jangkrik bising bercengkrama pada tengah malam itu seolah jadi saksi bisu kejadian itu. Tak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan Andre.

Ia lekas menyalakan mobilnya untuk segera membawa jenazah ayahnya. Ketika mobil sudah berjalan, ia melihat pantulan cermin yang menunjukkan almarhum ayahnya duduk di kursi bagian tengah mobil itu.

Kemudian ketika ia melihat lagi, tiba-tiba ayahnya hilang dari pantulan kaca membuat isi kepala andre buyar hingga menabrak seekor anjing didepannya. Ia mulai terasa, benturan yang membuat kepalanya terantuk ke dinding kemudian ia perlahan membuka mata, dengan jantung yang bergerak lebih cepat beriring dengan desah napas meraba tubuh yang nyata, baru andre tersadar ternyata itu hanya mimpi karena terlalu mencemaskan almarhum ayahnya.

“Coba saja ayahku waktu itu kumandikan dan ku kafani,” aghhhh….sambil menangis penuh sesal menjambak rambut dikepala. “Bahkan raut wajah terakhir mu pun tak sempat kulihat,” kesal memukul dinding di ruang jeruji besi itu sebagai pias dari amarahnya.

Peristiwa kematian ayahnya itu terus terngiang ngiang di kepala andre, Ayah Andre memang sempat kecelakaan waktu lalu, hingga menyebabkan tulang kering ayah Andre dan lengan kanannya harus dipasang pen.

Tiba-tiba sore itu ayah Andre mengeluh nyeri dan ngilu yang tak sanggup ditahannya, “yah, kalau begitu kita ke Rumah Sakit saja” kemudian andre bergegas membawa ayah ke Rumah Sakit. Andre segera pergi ke bagian admistrasi menyerahkan berkas KK, KTP dan sebagainya untuk kelengkapan admistrasi ayahnya.

“Suster, ini ayah saya gimana sus? tanya andre. “Sebentar pak, karena ruang IGD penuh bapak harus menunggu dulu,” ujar suster itu. Andre mondar mandir panik menungu kabar baik dari suster mengenai penanganan ayahnya, cemas terus memenuhi benak Andre tak tega kalau ayahnya merintih kesakitan. Satu jam sudah berlalu, ia kembali mendatangi suster “bagaimana penanganan ayah saya sus?” masih dengan jawaban yang sama “sebentar ya pak !”

Beberapa saat terdengar suara seorang wanita memakai perhiasan yang tampak mahal dan tas branded. Ya, tampaknya memang orang kaya wanita itu datang dengan seorang ibu yang duduk di kursi roda, paras mereka mirip mungkin itu ibunya.

Terhitung lima menit, wanita yang tadi langsung mendapat penanganan dan mendapat ruangan, tersentak dalam hati Andre “padahal saya yang duluan antri “. Tak banyak berpikir tentang orang itu, gerutu yang menggebu tak mampu dirasa andre ia merasa tak direspon, dari tadi kalimat “sebentar” hanya sebagai penenang.

Andre kembali menemui lagi suster itu, “sus ! ayah saya sudah mau sekarat tapi masih saja belum ada penanganan, mau? Saya panggil wartawan untuk menyebarkan pelayanan di rumah sakit ini ?” barulah si suster menjawab “baik pak” dan segera menghubungi dokter tulang.

Satu jam lagi menunggu, ayah Andre mendapat penanganan dan disuntik obat anti nyeri, kemudian ayah andre masuk ruang operasi, karena ternyata ada pergeseran tulang, hal itu yang membuat ayah andre merasa sakit dan tulang yang tergeser harus dibenahi lagi oleh dokter.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang operasi, mengatakan ayah Andre tak bisa diselamatkan lagi dengan dalih ayah Andre positif covid,“ apa ini ? tanya Andre.

“Ngak! Ga’ mungkin dok, ayah saya patah tulang, sejak kecelakan ayah saya keluar saja tidak pernah kenapa tiba tiba covid, saya dan keluarga mencoba ikhlas kalau ayah saya memang sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa, tapi kami tidak terima kalau tiba-tiba jenazah divonis covid dan harus dimakamkan di pemakaman Covid.”

Sangking tak terimanya, andre berjalan menuju ke ruang jenazah ayahnya dan lekas ingin membawanya pulang ke rumah tapi dicegat oleh ibu dan Fini, Andre memang tak terima ayahnya dikebumikan di pemakaman orang-orang yang pernah terinfeksi Covid, bagaimana tidak baru saja beberapa waktu, ayahnya berada di rumah sakit dan menghembuskan napas terakhirnya tiba- tiba divonis Covid.

“Pak, pemerintah sudah menetapkan kita harus mengikuti protokol kesehatan,” begitu ucap dokter itu. “Kalau begitu saya mau hasil rapid ayah saya sekarang,” ungkap Andre. “Tapi pak, kita kan bekerja dengan mesin, hasil nya baru bisa keluar 2 minggu lagi, tetapi pasien harus segera dikebumikan.”

Mengingat ayahnya yang kasihan kalau berlarut tak segera mendapat keputusan untuk proses pemakaman. Akhirnya andre berhasil dibujuk oleh ibu dan adiknya agar menyetujui pihak rumah sakit dengan perjanjian “Kalau seandainya Swab yang keluar negatif, maka rumah sakit akan kami tuntut,” tegasnya.

Setelah proses pemakaman diurus, ayah andre diantar ke kuburan. Hujan pilu tak mampu diseka oleh tangan mereka, menyapu air mata yang mengalir deras di pelupuk mata, di depan pagar pemakaman itu Andre, ibu dan Fini hanya mampu memanjatkan Al-fatihah untuk sang ayah dan baru boleh berziarah lebih dekat sekitar 2 minggu lagi.

Setelah beberapa hari cuti, Andre kembali bekerja seperti biasa, ketika ia menuju ruangan seukuran dua meja pingpong itu terdengar sayup suara cerita tentang almarhum ayahnya. Ternyata beberapa waktu ke belakang ini orang-orang memang membicarakannya juga sempat ada pertimbangan di kantor takut karyawan yang ada di kantor itu ikut tertular dengan sedikit berdehem dan tersenyum tipis ke arah meja kabid,” bu !” sapa Andre. “Kami turut berdukacita pak Andre tetapi ada hal yang ingin saya sampaikan” jawab bu kabid. Membuat Andre mengernyitkan kening, bangun menuju meja bu Kabid dan duduk.

Kemudian bu Kabid memberikan uang pesangon, “apa ini bu? Kan baru saja gajian,” tanya andre heran, “pak Andre, tugas bapak selanjutnya akan di manage oleh saudara kasubag umum, mohon maaf sebesar besarnya pak saya hanya bertugas menyampaikan, ini perintah !“ Andre bungkam tak ada lagi pembelaan terhadap dirinya, ada suara yang dapat keluar dari mulutnya selain bergegas keluar.

Selanjutnya, ia pulang ke rumah, dan masih merahasiakan bahwa ia telah dipecat sambil menonton televisi di ruang keluarga, ibunya berbincang kecil dan menasehati Andre agar tidak memperpanjang urusan dengan rumah sakit,“ sudahlah nak, ayahmu juga sudah tenang di sana jangan membuat masalah baru dengan keras kepala mu itu” ungkap ibu. “Tapi bu, kita juga harus punya prinsip biar orang ga semena-mena,“ jawabnya.

Waktu terus berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba, Andre datang ke rumah sakit dan menduga bahwa ayahnya tidak mungkin positif karena keluar rumah saja hampir tidak pernah selama pandemi, gumam dalam hatinya kemudian saat ia mencoba menghubungi dokter yang bersangkutan kebetulan dia sedang tidak berada di rumah sakit saat ini, “Sus saya mau melihat hasil rapid test ayah saya,” tanya andre. Atas nama siapa pak? Jaka Raharja, jawabnya.

Tersentak napas Andre terkejut memang sudah benar dugaannya, dibakar rasa kesal Andre pun marah dan segera menghubungi dokter “Bagaimana ini dok? Ayah saya sudah dimakamkan di pemakaman Covid tetapi hasilnya negatif sebelumnya sudah ada perjanjiaan kalau seandainya hasilnya negatif rumah sakit ini akan saya tuntut, dokter menjawab dengan dalih, “Pak tapi kita kan bekerja dengan mesin, mohon maaf jika terjadi kesalahan tekhnis.”

“Pak, ini resikonya sudah saya tanggung semua tapi semudah itu bapak menjawab bahwa ini kesalahan tekhnis?” tanya Andre geram. “Dari awal kan sudah ada kesepakatan bahwa jika hasilnya negatif, rumah sakit ini akan saya tuntut,” tegas andre. “baik, berarti persoalan akan kita selesaikan di meja hijau,” jawab dokter.

Tapi siapa sangka ternyata rencana sudah disusun rapi, Dokter tentu memiliki banyak kenalan dan dapat memilih pengacara handal untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan singkat dan matang, bagaimana tidak, kali ini taruhannya adalah nama rumah sakit.

Keesokan harinya Andre yang percaya diri juga membawa pengacara seorang teman kuliahnya dulu sewaktu berorganisasi bersama ia minta tolong agar dibantu agar menjadi pengacara pada kasus ayahnya, agar kasus seperti ayahnya ini tidak terulang lagi.

Alasan Andre memilih temannya ini adalah karena dia baru saja dipecat tentunya ia tak cukup uang untuk membayar pengacara kondang, jadi Andre minta tolong agar ia dibantu dengan tidak mematok biaya yang terlalu besar, anggap saja membantu teman.

Pengadilan berlangsung, Andre dinyatakan bersalah dengan berbagai dalih akhirnya ia terkena hukuman 2 tahun penjara, kabar itupun akhirnya sampai ke telinga ibunya, membuat wanita yang baru saja kehilangan suaminya itu ditimpa kepedihan yang berlapis, belum kering luka kepergian suaminya ditambah lagi dengan nyeri kengiluan kabar anaknya yang masuk penjara, begitulah setiap hari si ibu ini menangis dan terus menangis membuat matanya buta .

Karena terus menerus dalam keterpurukan, ibu Andre tidak mau makan dan sakit-sakitan dan diurus oleh adiknya Fini. Subuh itu,sang ibu tampak sangat kedinginan “ Finiii, ambikan ibu air hangat ibu hauus sekali “ usai salam Fini pun bergegas “ ini bu !” Fini memberi gelas. Seusai ibunya minum, Fini mengantar gelas ke dapur dan kembali lagi ke kamar, diamatinya perut ibunya tak lagi bergerak naik turun, lalu Fini meraba denyut nadi ibu, “ buuuuu ! teriaknya cemas sambil menangis “ ibu ternyata telah menghembuskan napas terakhir .

Kemudian sampai kabar pada Andre di jeruji besi itu bahwa ibu telah meninggal, membuatnya merasa sial karena mimpi buruk tadi belum hilang dari pikirannya bertubi dengan kenyataan pahit yang harus ditelannya ia merasa hidupnya tak lagi berguna, ayah yang sudah pergi untuk selama-lamanya dan kini ibu juga harus pergi menyisakan luka yang belum kering. Andre membela haknya, malah melukai dirinya sendiri.(Tamat)

Oleh : Oriza Sativa, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala.

 

 

Komentar Via Facebook

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here